Saturday, December 13, 2008

Wiraraja

Sejarah jatuhnya Singhasari dan bangkitnya Majapahit tanpa menyebut Wiraraja bagaikan kolam ikan tanpa ikan.

Awal Mulanya

Wiraraja menaruh dendam pada Kertanegara karena dia dipindah menjadi Bupati Madura di Sumenep setelah mengajukan kritik pada Kertajaya tentang kebijaksanaan luar negeri (penentangan kebijakan ini juga membuat patih Raganatha diganti oleh Patih Angragani yang telah uzur).

Mengetahui bahwa Jayakatong menyimpan dendam pada Kartanegara karena asal muasal Jayakatong, diam-diam sebuah pesan pendek dengan penuh bahasa sandi dikirimkan pada Jayakatong oleh Wiraraja yang isinya tentu saja bukan ibu pertiwi sedang hamil tua, dan paraji telah disiapkan;tetapi (kalimat verbatim menurut kitab pararaton): “Tuanku, patik baginda bersembah pada paduka raja bermaksud akan berburu di tanah lapang lama, hendaknya paduka sekarang pergi berburu. Ketepatan dan kesempatannya baik sekali. Tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan tak ada ular durinya. Ada harimau tapi tak bergigi.” Ini terjadi karena hampir seluruh pasukan Singhasari sedang mengikuti ekspedisi Pamalayu ke Sumatera.

Segera setelah membaca surat itu Jayakatong pun menyerang Singhasari dengan membagi pasukannya menjadi dua, serangan itu tepat ketika Kertanegara melakukan ritual yaitu minum-minuman keras dan lainnya yang tidak begitu perlu dibeberkan di sini (menurut Negarakretagama karena Kertanegara sudah bebas dari segala dosa, maka ritualnya pun makin asyik dan masyuk). Pasukan kecil Jayaktwang dipimpin Jaran Guyang (tidak ada hubungan dengan mantra-mantra penggaet wanita) menyerbu Singhasari dari utara. Mendengar hal itu, Kertanagara segera mengirim pasukan untuk menghadapi yang dipimpin oleh menantunya Wijaya. Pasukan Jaran Guyang berhasil dikalahkan. Namun sesungguhnya pasukan kecil ini hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singhasari kosong. Pasukan kedua Jayakatong menyerang Singhasari dari arah selatan dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang. Dalam serangan tak terduga ini, Kertanagara ikut maju berperang sambil agak fly dan akhirnya tewas di dalam istananya bersama Patih Angragani

Menurut prasasti Kudadu, Ardharaja putra Jayakatong yang tinggal di Singhasari bersama istrinya karena diambil mantu oleh Kertanegara, ikut serta dalam pasukan Wijaya. Tentu saja ia berada dalam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singhasari, Ardaraja berbalik meninggalkan Wijaya dan memilih bergabung dengan pasukan Jayakatong.

Wijaya Melarikan diri ke Sumenep dan Membangun Hutan Tarik

Setelah terdesak dalam pertempuran dan terus melarikan diri, maka ketika di Kudadu, disimpulkan untuk mencari perlindungan ke Sumenep, di mana Wiraraja memerintah. Di sana, Wijaya disambut meriah, lalu mereka berdua merencanakan untuk mengambil alih Singhasari. Dalam rembugan ini, perjanjian dibuat, bahwa nanti Negara akan dibagi dua jika tujuan berhasil.

Maka Wiraraja pun mengabarkan pada Jayakatong bahwa Wijaya menyerah lalu memohon ijin untuk membangun Hutan Tarik yang akhirnya bernama Majapahit.

Lucky Blow

Tak dinyana, ekspedisi punitive dari kerajaan Mongol tiba-tiba datang untuk menghukum Kartanegara, karena penghinaan pada utusan Mongol sebelumnya. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Wijaya untuk menyerang Jayakatong dan akhirnya Wijaya pun menyerang tentara kerajaan Mongol ketika mereka sedang berpesta.

Ranggalawe dan Pembagian Majapahit

Setelah Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit maka atas jasa-jasanya dalam perjuangan Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu sedang Ayah Ranggalawe yaitu Arya Wiraraja menjadi pejabat tinggi di Majapahit.

Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Lembu Sora. Menurutnya, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora (yang juga paman Ranggalawe) yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan daripada Nambi namun Lembu Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.

Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Lembu Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban.

Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.

Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam.

Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Sora.

Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Wijaya mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibu kota di Lumajang.

Akhir Majapahit Timur

Akhir Majapahit Timur, tidak begitu jelas tercatat dalam sejarah resmi, yang jelas ketika terjadi penumpasan pemberontakan Nambi , pada 1316 daerah Lumajang (Majapahit Timur) disatukan kembali dengan Majapahit Barat, pada tahun itu tidak dijelaskan bagaimana nasib Wiraraja atau penggantinya.

Beberapa Pertanyaan Yang Masih Tersimpan

Wiraraja konon berasal dari Desa Nangka yang entah di mana tempatnya di Jawa Timur.

Kraton Sumenep resmi dimulai pada saat Wiraraja memerintah dan ketika Wiraraja mengabdi pada Majapahit, maka pemerintahan diberikan pada saudaranya Arya Bangah lalu turunan Arya Bangah lah yang menjadi raja-raja Sumenep. Sementara keturunan Arya Bangah tercatat dengan rapi, keturunan Wiraraja di Lumajang (ini bukan singkatan maLU-MAlu di ranJANG) dan Tuban hilang dari catatan resmi, mungkin karena mereka dianggap pemberontak. Apa yang terjadi di Sumenep sebelum Wiraraja datang ke sana?

Mengapa Wijaya menuju Sumenep dalam pelariannya, apakah ini karena tempat terjauh, atau dia mengetahui sesuatu yang kita tidak kita ketahui?

Apakah intrik-intrik dalam kraton sengaja dipelihara? Untuk memperlemah semua pihak dan membuat Wijaya menjadi yang terkuat?

2 comments:

Anonymous said...

Dan jadi Upasara Wulung itu anaknya siapa??

Anonymous said...

genre roman sejarah adalah sebuah genre untuk memenuhi keingintahuan akan beberapa yang hilang dan tidak jelas dalam sejarah.

dengan othak-athik-gathuk, semuanya jadi jelas terang dan terbaca