Saturday, August 14, 2010

Sok-sok-an Menjadi Art!

Sebenarnya tulisan ini agak lambat tayang, tapi tak apalah ketimbang tidak tayang sama sekali.

Dua minggu yang lalu, pada sebuah siang yang mendung dan ditingkahi gerimis, maka saya berjalan tak tentu arah menuju Perpustakaan Nasional, tak dinyana ternyata ada pameran tentang William Farquhar, yang menjadi Residen pertama Singapura (1819-1823) Farquhar, sebagai anak buah Raffles, diserahi tanggung jawab untuk membangun karesidenan Singapura dengan dana yang minim, sudah barang tentu take and give dengan para pedagang harus dilakukan Farquhar untuk membangun karesidenan itu, ketimbang menuruti rencana awal tentang pembangunan yang berkesinambungan dan madani tapi dengan dana minim.

Yang menarik dari pameran ini adalah, Farquhar menolak menjadi Residen Jogjakarta di masa Raffles berkuasa di Java; juga Farquhar mempunyai Gundik keturunan Cina-Prancis (yang membuat Raffles marah besar selain masalah adanya opium dan budak).

Ketidakcocokan ini, ditambah adanya 'kompor' yaitu laporan dari keluarga dekat Rafles membuat Farquhar dipecat dan diganti oleh pengganti yang konon katanya dapat memahami Rafles.

Di pameran ini, terdapat buku-buku, barang-barang, lukisan (pinjaman dari keluarga besar Farquhar) dan audio/video serta silsilah trah Farquhar dari Skotland dan Malaya. Walaupun materi yang dipamerkan tidak banyak tetapi dengan cara penyajian ciamik membuat kita terlupa bahwa pameran ini ada di selasar.


Setelah beruluk salam dengan penjaga pameran, dia tak lupa berkata bahwa ada pameran tentang Arab di Asia Tenggara di lantai atas, maka untuk membunuh waktu, pameran itu pun saya datangi. Format pameran adalah campuran antara multimedia, foto, lukisan, benda-benda penunjuk bukti, akan tetapi antara tema dan benda yang dipamerkan, menurut saya jauh panggang dari api.
Akan lebih cocok, kalau pameran tersebut diberi judul: 'Migrasi Kaum Hadramaut ke Singapura" ketimbang judul aslinya Rihlah - Arabs in Southeast Asia

Sayangnya di kedua pameran, tak boleh dipotret sama sekali.

Setelah
menghela napas panjang, merokok dan minum maka saya melanjutkan perjalanan menuju Musium Seni Singapura, dan melihat ada poster dari Ming Wong - Life of Imitation. Dengan membayar ticket sebesar Sing $5, maka saya mencoba mengerti apa yang dimaksud Ming Wong.

Ternyata Ming Wong mencoba untuk meniru jaman keemasan film melayu tahun 1950 samapi 1960-an. Pada karyanya yang pertama, Ming Wong mereka ulang film Imitation of Life (1959) tetapi dengan pemain dari tiga ras utama di Singapura yaitu: Melayu, Cina dan India. Dengan agak edan, Ming Wong memakai 3 aktor pria untuk memainkan Ibu Sarah Jane, Sarah Jane dan tetangga Sarah Jane. Tiga aktor itu bergantian memainkan peran dan di layar yang dilengkapi kaca, maka dua buah film pendek ditayangkan bersama-sama akhirnya membuat pemandangan yang surreal.



Karya kedua Ming Wong adalah adaptasi dari In the Mood for Love tapi dengan semua pemain
wanita. kemudian scene pendek dalam latihan adegan ini ditayangkan serentak dengan memakai TV panoramik layar datar dalam suatu ruangan,
sehingga seakan-akan dalam ruangan terdapat random delay karena film ini dibuat dengan tiga bahasa (Cina, Itali dan Inggris). Yang jelas Pemain wanitanya cuantik sekali!

Karya ketiga, adalah masa keemasan film melayu, yaitu tahun 1950an - 1960-an, dan sudah jelas ini adalah P Ramlee, di sini Wong Ming mencoba untuk mengambil empat adegan dari empat film yang terkenal (setidak-tidaknya menurut Wong Ming) untuk dimainkan ulang oleh Wong Ming sendiri! semua dijadikan satu dalam empat buah TV tabung dan kita berkeliling untuk melihat semuanya.

setelah mblenger akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke tingkat dua dan tiga untuk mengetahui apa lagi di sana
.


Ternyata ada pesta perkawinan, ada chapel dan pameran para remaja, tetapi karena perut semakin keroncongan dan mengerti Seni (dengan S besar) tidak bisa dilakukan dengan instant dalam satu hari jadi, akhirnya dengan langkah gontai saya tinggalkan museum ini untuk mencari ayam penyet dan tempat merokok.

Sebuah pengalaman yang Art!







Wednesday, August 11, 2010

Asal Muasal, Definisi dan Sophisticated

According to the DOT (Declaration for the Protection of the Denomination of Origin—this is the Mexican law that oversees the protection of Tequila), only alcoholic beverages made with Blue Agave or agave azul (Agave Tequilana Weber blue variety) grown in the states of Jalisco,Michoacan, Nayarit, Guanajuato and Tamaulipas can be labeled as Tequila. No agave grown outside this region, including other countries, can be used for any product labeled as “Tequila.”


Dikutip dari sini

Jadi, bisa kita bayangkan yang namanya Gudeg, Rawon, Pecel, Batik, Angklung, Tempe, Tahu, telur asin, es campur, es teler, soda gembira dan segala macam makanan juga karya seni baik dua dimensi maupun tiga kita berikan definisi untuk membedakan dengan tetangga

Memang akhirnya akan agak ruwet, kalau nanti telur asin Brebes, telur asin Sumenep atau off-Brebes. Tapi bukankah masalah penamaaan dalam anggur juga ruwet? malah dengan keruwetan ini maka kesan sophisticated akan tercipta; lalu gilirannya claim bahwa kita mempunyai budaya yang adiluhung dan santun bisa terbukti!

Apa sampeyan tidak bangga jika ada menu

Pecel Lele Sambal Merah dengan deskripsi Lele yang hanya tumbuh di sukabumi dan dibesarkan secara personal oleh pemiliknya. Di pecel dengan memakai bumbu yang khusus seperti Cabai dari Blora, brambang merah dari Brebes, Gula jawa dari Tuban, kacang panjang dari Temanggung, dimasak di atas api kecil dengan arang khusus dari semboja di Kalimantan Timur dan dihidangkan dengan nasi yang dipanen dari lahan gambut di kalimantan tengah dengan cowek signature series buatan seorang pengrajin di Bantul yang konsisten memakai tangan dan kaki selama 60 tahun untuk menghasilkan gerabah

Maka dari itu, berdefinisilah! supaya membedakan dan tak bisa dicolong!

Saturday, July 10, 2010

Mengunjungi The Fleming Collection

Setelah datang kepagian di Heathrow, maka ketimbang termangu di kamar hotel menunggu rombongan ludruk yang akan datang sore ini dan besok, maka kuputuskan untuk berjalan-jalan dengan berbekal peta seadanya.


Seusai makan di restoran cepat saji, maka kususuri jalan-jalan London utara di musim panas, temperature mencapai 30 derajat celcius hari ini (10.06.2010, langkah membawaku ke oxford street dan mata ini tertumbuk pada Berkeley square yang disebelahnya tertulis the Fleming Square. Ini dia!


Jauh-jauh ke London bisa ngangsu kawruh pada bapake James Bond, siapa tahu bisa ngelmu seperti James Bond yang minimal ngentup tiga kali dengan orang yang berbeda pada setiap filmnya


Maka dengan langkah tegap kulalui Davies Street dan hati ini makin berdegup kencang ketika mendapati Berkeley Square yang mirip pecenongan dengan dealer mobil di sana-sini; kuhentikan langkah karena ingin melihat mobil bermerek Bugatti, Bentley, Range Rover, Roll Royce dan Porsche yang terlihat anggun di etalase.


Akhirnya aku tersadar, tujuan belum tercapai, revolusi belum selesai! Maka kubuka peta dan akhirnya terlihat dari kejauhan tulisan The Fleming Collection; dengan jantung berdegup kencang kumasuki pintu depan dan terlihat dua nonik kulit putih sedang berbincang, hmmm James Bond banget pikirku!


Maka setelah berbasa-basi dan menanyakan ukuran vital, aku pun mengutarakan maksudku untuk melihat-lihat fleming collection; ternyata oh ternyata karya fleming dan cendera mata hanya ada satu lemari kaca saja, sedang sisa dari gallery berlantai dua adalah pameran seni antah berantah yang aku tak mengerti maksudnya.


Maka dengan langkah gontai aku pun menuju Hyde Park lalu mengambil jalan tembus menuju Royal Albert Hall untuk melihat seperti apa, ketika Deep Purple tampil bersama Royal Philharmonic Orchestra dahulu kala


Pupus sudah ngangsu kawruh untuk menjadi James Bond


Kecewa!



Saturday, June 19, 2010

Singapore Sling

Ini bukanlah dialog Jalal dengan Herry Koko dari Surya Group pada lakon ‘Sinyo Minta Sunat’ ketika Herry Koko bertanya tentang minuman kesenangan Jalal sang tukang sunat mulai pagi-siang dan malam. Lebih dari itu ini adalah minuman yang dilembagakan, dianggap bagian dari sejarah sejak tahun 1900an dan akhirnya menjadi bagian menu dari Singapore Airlines.

Sejarah Singapore Sling menurut Wikipedia adalah sebagai berikut:
The Singapore Sling is a cocktail that was developed by Ngiam Tong Boon (嚴崇文), a bartender working at the Long Bar in Raffles Hotel Singapore before 1915. Recipes published in articles about Raffles Hotel prior to the 1970s are significantly different from current recipes, and "Singapore Slings" drunk elsewhere in Singapore differ from the recipe used at Raffles Hotel. The original recipe used Gin, Cherry Heering, Bénédictine, and most importantly, fresh pineapple juice, primarily from Sarawak pineapples which enhance the flavour and create a foamy top. Most recipes substitute fresh juice with bottled pineapple juice; club soda has to be added for foam. The hotel's recipe was recreated based on the memories of former bartenders and written notes that they were able to discover regarding the original recipe. One of the scribbled recipes is still on display at the Raffles Hotel Museum.

Mungkin berbeda dengan campuran asli, kali ini Singapore Ling dibuat campuran Gin, DOM Benedictine, Cointreau, cherry brandy, Angostura bitters dan Grenadine serta dicampur jus jeruk nipis dan nanas membuat warnanya jadi merah menyala sehingga cocok untuk menemani pilihan music dan video yang bertebaran; benar-benar membuat Singapore Sling menjadi eksotis.

Saya memilih music, karena dapat membuat semua panca indra saya selain telinga bisa berkonsentrasi ke subject lainnya. Yang mengagetkan sekaligus menyenangkan adalah adanya pilihan UK top 10 single chart mulai tahun 1961 sampai tahun 2009, rasanya seperti masuk dalam lorong waktu dan membuka satu persatu lembaran lama. Maka dengan segera saya membuat personal playlist dan mulai memilih lagu yang saya sukai dan saya kenal. Tahun 1961, semuanya seperti milik Elvis Presley yang bertahan sampai tahun 1962, kemudian tahun 1963 mop top mulai merajalela dengan beberapa hitsnya, kemudian membagi dua dengan Rolling Stones pada 1965; dengan diselingi Sonny and Cher, Tom Jones, Sinatra Cliff Richard. Pada 1967, Engelbert Humperdinck berbagi dengan beatles dalam 10 top, tapi Procol Harum dengan lagu andalannya ‘lebih pektay dari pucat’ tetap manis ditelinga. Pendek kata; saya memilih lagu yang saya sukai dan saya kenal mulai tahun 1961 sampai 1996 karena setelah 1996 life ain’t fun anymore. Setelah playlist jadi; ujug-ujug semua bittersweet memories kok ya muncul frame demi frame dan seperti dimainkan di proyektor yang mengingatkan saya pada adegan Zus Kim Basinger pada film 9 ½ weeks. Frames ini makin vivid dan rich karena ditemani Singapore sling yang free flow.

Bayangkan saja, ‘I Remember You ‘ yang dinyanyikan Frank Ifield tiba-tiba membuat menyeruak dan muncul seenaknya mengingatkan saya pada mobil mungil berwarna biru metalik yang dengan lincah menyusuri jalan tol setelah pulang menonton film ‘The Fabolous Bakers Boys’di Bioskop Mitra dan yang terekam dari film itu adalah mbakyu Pfeifer bernyanyi dengan ekspresi aduhai. Muncul pula pelajaran bermain gitar jaman tinejer dengan lagu tiga jurus (C F G) dari Ray Charles sambil berteriak : ‘I Can’t Stop Loving You’; Demikian juga lagu-lagu Beatles periode sebelum ‘perkumpulan hati sunyi sersan merica’ hanya mengingatkan pada kaset keluaran Atlantic Record dengan booklet berisi lirik, pembahasan dan chord gitar pada jaman kaset bajakan yang biasanya dibawakan di pos ronda supaya terlihat dan terdengar oleh lawan jenis disekeliling.

Sepertinya Singapore Sling memang membuat otak dapat mengingat denganc epat semua rangkaian adegan yang terstimulasi oleh lagu yang ada; tiba-tiba karena Roy Orbison menyanyikan pretty woman, tanpa disadari saya menghitung berapa kali saya menonton film berjudul Pretty Woman di bioskop dan juga ingat album Diver Down dari Van Halen membuat versi yang lebih ‘sangar’. Apalagi ketika True dari Spandau Ballet dan I will always love you dinyanyikan Whitney Houston tiba-tiba secara acak muncul bersamaan,membuat jadi kebelet pipis.

Tapi sebaiknya saya hindari menceritakan memorabilia pribadi karena nanti saya dapat dituntut oleh beberapa orang yang mirip dengan orang saya kenal dahulu karena dapat dianggap sebagai black campaign dan pembunuhan karakter, saya juga tak ingin dituduh menjadi penulis cerita cabul seperti yang digambarkan oleh Beatles dalam lagu ‘Paperback Writer’ di tahun 1966.

Tiba-tiba saya ingin bermain-main dengan tahun dan waktu lalu menyandingkan peristiwa di suatu tempat yang berjauhan; I can’t get( no satisfaction) masuk official UK singles pada tahun 1965, saya kadang berpikir apakah lagu ini dijadikan theme song oleh Gerwani (yang katanya menurut propaganda) menyiksa para jendral di Lubang Buaya? Dan setelah itu menyanyikan I got You Babe dari Sonny & Cher ketika siksaan selesai? Atau apakah pasukan cakra yang menculik para jendral diam-diam bersiul lagu a hard day’s night di dalam truk tentara untuk membunuh kesunyian dan rasa gugup? Mungkin para eksekutif dari operasi Kalong menyanyikan The Sun Ain’t Gonna Shine Anymore ketika mereka menangkap para simpatisan dan anggota partai di tahun 1966?

Those were the days kata Jeng Mary Hopkin di tahun 1968

Sunday, June 6, 2010

Vodka Conversation

Ini adalah sebuah percakapan karena pengaruh vodka, ketika vodka memasuki lambung dan bereaksi di sana. Percakapan ini mungkin pernah ada, akan ada atau tidak pernah ada sama sekali, karena pengaruh vodka membuat tak ada lagi batas antara kenyataan dan angan-angan dan juga membuat waktu tak lagi linear; lagipula sebuah percakapan pada sepuluh ribu meter di atas permukaan laut selalu tak pernah jelas.

Mengapa vodka? vodka terasa lebih eksotis, karena dari daerah tirai besi (walaupun kenyataannya banyak Negara membuat vodkanya sendiri) dan dalam penerbangan disediakan vodka dan segala turunannya, seperti vodka + cola, vodka + martini juga vodka + jus jeruk tanpa batas. Jika dalam penerbangan disediakan vodka + martono, Maryono, markeso, markuwat dan Mar yang lainnya, mungkin percakapan yang ada lebih surrealis; semakin surrealis lagi jika yang dihidangkan Sopi, legen, tuak atau bahkan cap tikus! Yang tergantung pada volume yang diteguk akan membuat si peminum tambah darah atau malah tumpah darah.

Lalu mengapa pula conversation? Jelas karena ini melibatkan percakapan dua manusia berlainan jenis, bukannya monolog seperti ‘Vagina Monologue’ dan jika diapplikasikan pada vodka akan menjadi Vodka Dialogue kemudian menjadi agak saru jika disingkat dan konotasi akan menyerempet pada penyakit.

Contoh percakapan akan seperti di bawah

So you’re finishing your holiday?
No I’m on business trip.
Oh I’m sorry I thought you’re student, you’re so young

I will put lip balm on your lips using my lips

Wake me up by licking my ear with your lip balm

Lalu apa yang dapat disimpulkan dari percakapan ini? Tak banyak tapi yang terpenting adalah: tiada lagi minum sedikit-demi-sedikit dan dihemat supaya bertahan sepanjang malam karena budget terbatas seperti jaman pembubaran panitia ketika kuliah dulu; kini semuanya free flow! (tergantung kelas tentu saja)

Wednesday, May 5, 2010

apakah saya pantas untuk pensiun?

saya tidak bisa asal mangap lagi, semua di senayan sudah asal mangap supaya mereka kelihatan cerdas, berwawasan, tanggap dan terkini.

Saya lebih baik pensiun!

Atau saya telah sukses menularkan virus asal mangap?