Tuesday, July 17, 2012

Jon Lord

Telah meninggalkan kita pada 16 July 2012, Bapak Jon Lord seorang keyboardist handal dari grup band kenamaan Deep Purple

Jon Douglas Lord, lahir di Leicester, England, pada June 9, 1941. Belajar piano bersama Oma Irama (sebelum Oma naik haji dan mengubah namanya menjadi R(aden)H(aji)Oma Irama). Dalam duetnya mereka membuat lagu berjudul Piano yang kemudian muncul dalam Original Soundtrack ‘Bercelana’ dan dinyanyikan bersama oleh Oma dan Yati pesek, karena Yati Octavia berhalangan.

Kembali pada Jon Lord. Setelah malang melintang di group-group kecil (Bluesician, Santa Barbara Machine Head, The Flowerpot Men) akhirnya Jon Lord pun bergabung dengan Deep Purple, dan dinamai Deep Purple Mark I. Jon bertahan di deep purple sampai deep purple mati suri sejak meninggalnya gitaris Tommy Bolin (Deep Purple Mark IV).

Jon Lord pernah tampil dua malam di Senayan bersama Deep Purple Mark IV pada tahun 1975, dan tampil dengan solo keyboard Burung kakak Tua. Konon menurut sahibul hikayat solo keyboard ini terinspirasi oleh penampilan Ahmad Albar sebagai Band Pembuka Deep Purple.

Dalam solo karirnya, Jon pun termasuk sukses serta mengeluarkan beberapa album termasuk album foto. Salah satu album berjudul Sarabande pun terpilih sebagai original soundtrack sandiwara radio saur sepuh di Indonesia dan mendapat kesuksesan besar karena dinyayikan oleh Mantili dan Brama Kumbara.

Jon Lord pun berpengaruh besar pada acara Aneka Ria Safari, di mana setup keyboard acara tersebut memakai merek yang sama yaitu Farfisa.

Setelah kebangkitan kembali Deep Purple di tahun 1984, maka Jon lord pun bergabung kembali, tapi ketika Deep Purple ngamen ke jakarta lagi bersama kawan-kawannya, Jon Lord tak ikut serta tapi kali ini dia hanya berlabuh di Pantura karena ingin mendidik para pemain Organ Tunggal dalam hal Chord Progression, tangga nada, harmonisasi dan solmisasi. Lalu pada 2002 Jon pun mundur dari Deep Purple dan menggarap solo albumnya sampai meninggalnya malam tadi.

Selamat jalan Jon.

Saturday, January 14, 2012

Bertemu Dia Lagi!




Alkisah, oleh juragan saya ditugasken menuju Chomutov - 100 km sebelah barat Prague untuk melihat Super Duplex Stainless Steel tubing yang dibeli oleh juragan untuk proyek barunya.

Setelah melewati three dog nights maka saya pun mulai terbiasa dengan iklim di sini dan seperti biasa berkeliling pabrik untuk memonitor sembari melihat NDE , PMI operators yang kebanyakan wanita dan berwajah seperti Ida Iasha , Sophia Latjuba dan entah siapa lagi, pokoknya feast to the eyes!

Pada proses pilgering , seperti biasa saya (pura-pura) mereview hasil padahal saya tak mengerti satupun kalimatnya kecuali Dobri Den. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada gambar Mas Win dan kawan akrabnya yang digunting dan diletakkan di meja. Saya melihat sang operator adalah lelaki paruh baya. Lalu dengan iseng saya melihat meja kerja operator lainnya dan berikut kesimpulan sementara saya:

Yang muda lebih banyak menempel gambar sepeda motor, mobil, wanita, sepakbola piala eropa 2012 dan team ice hockey. sedang yang paruh baya adalah artis holiwut jaman dahulu, gitaris jaman dahulu serta gambar Karel May

terlampir foto Karel May dan Mas Win (dari gambarnya, tentu judul filmnya sudah dapat diketahui bukan?)

sekian catatan ringan

PS. sementara inspektur asal polandia yang menemani saya, berkata: he is a liar

Thursday, January 12, 2012

Fotografi, Sebuah Pengamatan Singkat di Indonesia

Pengantar: Ini adalah sebuah sketsa tentang fotografi di indonesia ketika Internet marak dan harga peralatan fotografi makin murah dan juga keluhan dengan adanya fotografer kebanyakan, maka foto di komunitas dunia maya semakin terpuruk nilai seninya. Yang tidak dibahas di sini adalah kepuasan dan berhentinya sang fotografer, Seni yang berjalan di tempat dan Street Photography serta Film Black and White

I. Peralatan
Pada jaman sebelum digital, fotografi bukan hobby yang murah, sehingga tak banyak orang yang meminatinya, dan ketika meminatinya artinya orang itu telah berkomitmen untuk menghabiskan sejumlah uang untuk kamera, lensa, film, cuci dan cetak.

Karena masalah biaya di atas, maka setiap hasil jepretan haruslah benar-benar telah diperhitungkan sebagai sebuah decisive moment[1] , sehingga rasio kepuasan fotografer terhadap Roll isi 36 exposure bisa mencapai 10 foto.

Lalu datanglah kemajuan jaman, digital mulai tumbuh berkembang, semua produsen kamera berlomba-lomba membuat kamera dengan fitur yang menarik hati dengan harga terjangkau. Akhirnya membuat wants melebihi needs dari si pembeli ini juga didukung dengan harga kamera entry level yang makin terjangkau dan ditambah dengan angsuran 12 bulan dengan bunga 0%.

Dan semua berbondong-bondong memakai DSLR. Mengapa DSLR? Karena sejak lama dalam benak kita yang tertancap adalah imaji seorang profesional memakai kamera SLR dan lensa besar[2]. Sehingga ketika kesempatan datang sudah barang tentu mayoritas akan memilih DSLR.

Lalu entah kenapa, peralatan fotografi digital ini masuk dalam majalah elektronika, sehingga hilanglah sudah label fotografi, dia telah berubah menjadi gadget semata, sama seperti telpon genggam, komputer jinjing dan banyak peralatan elektronik lainnya yang umur hidupnya makin pendek.

II. Komunitas Fotografi
Sudah jelas, setiap fotografer akan berkumpul dengan sesamanya dan membentuk komunitas. Guna komunitas ini adalah untuk tukar pendapat, saling asah/asuh/asih dan banyak lagi yang bernilai positif.

Dalam komunitas yang kecil ini, proses pembelajaran berlangsung relative cepat karena semangat yang menggebu-gebu antara para penghobby sehingga karya yang dihasilkan, walaupun agak seragam, tetapi mempunyai teknis fotografi yang di atas rata-rata.

III. Foto Sebagai Lomba
Sebagai kelanjutannya, kemudian muncul ide untuk melombakan hasil foto[3] dari masing-masing komunitas. Sebenarnya tujuannya bagus, untuk memacu para fotografer supaya tak mandeg di situ-situ saja, tapi tujuan yang bagus terkadang memunculkan ekses negative seperti tuduhan atas penjurian yang berat sebelah sampai mempertanyakan pengetahuan seni pada seorang juri.

IV. Internet
Satu kemajuan yang mendera Indonesia adalah makin murah dan cepatnya internet. Ketika modem 5400 bps adalah sebuah kemewahan kecil maka US Robotics serta Hayes 14400 bps adalah sebuah kemewahan besar. Tapi semakin maraknya internal modem yang cepat, relative bagusnya fibre optics membuat kita lupa pada perintah ATT/DT dan Trumpet Winsock; serta tak lupa akan kemajuan mobile internet yang berdampak pada makin terhubungnya manusia, salah satunya adalah komunitas fotografi.

V. Dunia Maya
Komunitas fotografi dunia maya pun mulai terbentuk, di awal sudah barang tentu masih sedikit yang mendaftar karena peralatan fotografi masih mahal, sehingga irisan himpunannya nya adalah fotografer yang mempunyai fasilitas internet lah yang memanfaatkan. Di awal periode ini sudah barang tentu komunitas dunia maya adalah memindahkan person dalam dunia nyata ke dunia maya, saling kenal satu sama lain, serta dari melihat hasil karya sudah bisa menebak siapa fotografernya adalah sudah biasa.

Pergaulan di sini akrab dan guyub dan masih mempunyai unggah-ungguh, karena saling kenal di dunia nyata. Foto yang ditayangkan kebanyakan bagus karena merupakan hasil terpilih dari fotografer sejak dahulu yang telah di-digital-kan

Sudah barang tentu, jika di dunia nyata lomba diadakan, maka di dunia maya juga mustinya harus ada, maka foto pilihan pun diadakan dan dapat didefinisikan dengan sebuah foto pilihan adalah foto yang paling banyak dinilai. Sebuah algoritma yang simple dan tepat.

Dalam waktu yang dekat kemudian, semua orang pun membeli kamera digital, dan semua orang menenteng kamera baik ketika pergi ke Mall/arisan keluarga atau liburan keluarga. Tapi ini tak apa toh kata mbakyu Sontag fotografi ini kan merekam imaji yang ada atau pernah ada untuk dikenang di masa depan, lagi pula pembelian kamera ini duit hasil kerja keras mereka sendiri.

Sudah barang tentu sebagai aktualisasi, para fotografer ini akan bergabung pada komunitas yang ada baik di kantor atau wilayah tinggal mereka, seperti misalnya komunitas fotografer petani tambak atau komunitas fotografer daerah Jember Utara dan sebagainya. Komunitas ini lambat laun juga mengaktualisasi kelompoknya dengan tampil di dunia maya.

Ketika fotografer kebanyakan ini bergabung di komunitas fotografi dunia maya, maka komunitas dahulu yang saling kenal menjadi tak kenal satu sama lain, bisa dibayangkan, kecil kemungkinan fotografer di Jember Utara mengenal fotografer di Tempat Piknik Gunung Kidul. Karena tak saling kenal ini maka pergaulan menjadi egaliter tanpa unggah-ungguh. Dapat dibayangkan Dunia Maya ini menyatukan tapi tetap saling asing antara anggotanya.

Masalahnya tak semua yang bergabung dalam komunitas fotografer dunia maya memang ingin memperdalam ilmunya ada yang hanya ikut-ikutan, dan sayangnya ketika ada perlombaan foto pilihan, maka mereka mencari akal untuk menjadikan fotonya terpilih dengan cara-cara yang tak elegan. Apa yang mereka cari? Bermacam-macam, kebanggan sesaat, rasa menjadi hebat diantara kumpulannya, sampai sebagai pemasaran dari usaha nya di dunia nyata.

Nah, ketika fenomena ini muncul maka system yang disalahkan, lalu dituduh komunitas fotografi makin menurun mutu dan nilai seni fotonya. Bahkan mendukung tak perlu lagi diadakan foto pilihan, logika ini akan sama saja dengan karena penegakan hukum gagal di Negara ini maka hukum harus dihapuskan. Kalau hukum dihapuskan berapa banyak jaksa, hakim dan polisi nganggur? Lalu mau makan apa keluarga mereka?

VI. What Is To Be Done[4]
Padahal, menurut saya yang suka asal mangap, yang penting adalah dengan konsisten memberikan para fotografer yang baru bergabung (ini dengan asumsi bahwa mereka memang baru memegang kamera) beberapa contoh-contoh foto sebagai pembuka jalan bagi mereka untuk menseriusi fotografi, dan juga kreatifitas ide serta obyektifitas dalam menilai sebuah foto (ini agak sulit karena kita hidup di indonesia)

Dengan edukasi ini, maka diharapkan sebuah penilaian akan obyektif dan memang foto yang bagus yang terpampang menjadi foto pilihan. Edukasi ini sebenarnya sebuah proses tanpa henti, bagaikan Sisyphus menggendong batu, karena diperkirakan ke-ria-an tentang fotografi ini masih akan berlangsung lama.

Lalu pertanyaannya siapa yang harus mengedukasi? Saya dengan lantang menjawab: Ini adalah tugas semua orang di setiap komunitas karena komunitas sejatinya milik semua yang ada di dalamnya; walau sudah barang tentu cara edukasinya berbeda; ada yang keras, halus, langsung atau memakai perumpamaan.

Catatan Kaki
[1] Decisive moment adalah konsep yang agak absurd, karena bisa dibuat, sebagai contoh lihat foto Doisneau tentang sepasang kekasih yang berciuman di depan bar
[2] Maraknya DSLR muncul karena redupnya Rangefinder yang mempunyai kelemahan pada terbatas nya lensanya serta fungsi automatis
[3] Sudah barang tentu ini juga absurd, karena lomba dilakukan dengan melakukan penilaian pada kriteria yang nisbi. Berbeda dengan lomba lari, kejuaraan badminton yang jelas aturannya
[4] Ini kalimat favorit saya, mencontek dari seseorang yang tak usah disebut namanya